Ajna padmam bhruvor madhye
hakshopetam dvi patrakam;
shuklabham tan mahakalah
siddho devy atra haakinii.
(Siva Samhita 96: ajna
cakra vivaranam)
Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna,
terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam. Pimpinannya
disebut Sukla Mahakala (waktu agung putih); pimpinan devinya disebut Hakini.
Suatu hal sesederhana memakai bija pun
sesungguhnya memiliki makna yang luas dalam ajaran Veda. Ketika kita
bersembahyang dan meminum tirtha, kita akan dibagikan butiran-butiran beras
yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Tidak hanya di
kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bija di atas kepala, di
bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memakainya di kedua
pelipis (lihat artikel Peranti Sembahyang oleh Ida Bhagawan Dwija di
situs ini).
Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan
beragama Hindu. Bija adalah salah satu bahan yang dipakai di kening ketika
seorang Hindu selesai melakukan persembahyangan. Ada bahan-bahan lain yang
disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendana. Bahan-bahan ini
dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut
tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah.
Bija memiliki beberapa makna filosofis yang
dikaitkan dengan spiritualisme. Pertama, kita lihat dari asal katanya. Bija
berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang diadopsi dari kata vija (Sanskrit).
Vija dapat dikaitkan dengan kata (pranava) Om sebagai nama utama dari Tuhan. Om
juga disebut vijaksara, sebagai aksara Brahman yang tertinggi. Om adalah nama
Tuhan yang paling sakral dan memiliki makna yang tidak terbatas. Memakai bija
di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Hal ini juga berarti
konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang memakai bija (tilaka)
diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan bijaksana. Demikianlah
makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara.
Kedua, bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva
Samhita ditemukan sloka-sloka tentang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang
membujur di sepanjang tulang belakang. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis
dan fisiologis tubuh. Salah satu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang
terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam
masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam. Siva
Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu
ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triveni. Pembuluh
ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna
dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembuluh
matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang
hidung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan
pinggala membawa hawa panas yang aktif pada siang hari. Oleh sebab itu,
seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang
hidung kanannya, sementara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang
agak dingin. Pembuluh ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam
kaitannya dengan pemakaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan
energi dari ketiga pembuluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik.
Apalagi jika seseorang mampu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti
yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita
113).
Ketiga, bija memiliki makna benih. Bija terbuat
dari beras yang seharusnya lonjong sempurna, bukan butiran-butiran yang
terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna
melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. Selain itu, beras yang bentuknya
sempurna juga melambangkan alam semesta yang juga berbentuk bulat. Bija adalah
benih padi yang berwarna putih yang bermakna hendaknya kita menumbuhkan
benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita lihat orang-orang
yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kesucian dalam
dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam dirinya, semua
akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan.
Keempat, bija memiliki makna kesungguhan dan
kesadaran karena seseorang yang memakai bija berarti orang yang seharusnya memiliki
keyakinan dan kesadaran akan kewajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan
Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam
dirinya sebagai Paramatman dan merasa terlindungi. Ia juga akan merasakan bahwa
Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, termasuk kuman-kuman, bakteri,
tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan belajar untuk menghormati
eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan.
Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang
tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai
bahan olok-olok yang lainnya sebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban
Hindu dan Veda bukan hanya sebuah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah
jalan pengetahuan tiada batas.
Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba
Comments
Post a Comment